Wahyu Anggoro (25) tidak pernah menyangka jika biji-biji kopi berupa kotoran luwak ternyata mampu menjadi komoditas primadona. Bahkan, kopi yang harganya ”selangit” ini sekarang banyak diburu dan digemari publik mancanegara.
”Terus terang, dulu kami memandang itu (kopi luwak) menjijikkan. Kami baru tahu itu memiliki nilai jual setelah ada peneliti dari Hongkong masuk ke sini. Dia (peneliti) bilang, kopi luwak Lampung Barat adalah salah satu yang terbaik,” ujar produsen kopi luwak di Way Mengaku, Liwa, Lambar, baru-baru ini.Kompleks Gang Pekonan, Way Mengaku, merupakan sentra penghasil kopi luwak di Lambar. Di sini terdapat sekitar 10 produsen kopi luwak yang seluruhnya merupakan usaha kecil menengah. Secara kasat- mata, dari luar, tidak tampak jika mereka memproduksi kopi luwak.
Rumah-rumah para produsen kopi luwak ini, dari luar, terlihat layaknya rumah penduduk biasa di daerah perkotaan. Namun, jika kita melongok ke dalam, di pekarangan samping atau belakang rumah, baru tampak aktivitas itu. Puluhan kandang luwak berjajar rapi.
Di rumah-rumah yang berukuran tak besar itu, kopi-kopi luwak diproduksi. Mulai dari mengumpulkan gelondongan kotoran luwak, menjemur, menyangrai (menggoreng biji kopi), hingga mengemas bubuk kopi, semuanya dilakukan di rumah masing-masing.
Kopi luwak memiliki keunggulan, antara lain kadar kafeinnya jauh lebih rendah, hingga 85 persen dari kopi umumnya. Dengan demikian, mereka yang memiliki penyakit lambung pun relatif aman jika mengonsumsi kopi ini berkali-kali.
Kopi luwak juga memiliki aroma dan rasa yang sangat kuat sehingga banyak digemari pencinta kopi. ”Rasanya dahsyat, aromanya sangat terasa. Ini betul-betul kopi kualitas tinggi yang tidak ada tandingannya,” ujar Andy S (30), seorang penggemar kopi.
Harga mahal
Keunggulan inilah yang membuat harga kopi luwak sangat mahal, yaitu Rp 750.000- Rp 1 juta per kilogram (bentuk bubuk) di tingkat produsen. Sementara, dalam bentuk gelondongan, harganya Rp 200.000 per kg. Di luar negeri, bahkan harganya (bubuk) bisa mencapai Rp 3 juta-Rp 5 juta per kg.
”Makanya, pembeli dari luar negeri tidak jarang datang ke sini,” tutur Sapri (39), produsen lainnya. Saat musim panen, setiap produsen di wilayah tersebut mampu memproduksi kopi luwak 10 kg hingga 15 kg per hari.
Kopi luwak dihasilkan oleh luwak atau musang. Namun, hanya ada dua jenis luwak yang mau memakan biji kopi, salah satunya musang bulan (Paradoxurus hermaphrodirus). Musang liar yang berukuran besar ini banyak hidup di areal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan hutan-hutan penyangga.
Menurut Wahyu, musang bulan ini dapat tumbuh besar. ”Saya pernah liat yang bobotnya bisa sampai 30 kg, postur tubuhnya hampir sebesar anjing, karena sering diberi susu,” ujarnya.
Hewan nokturnal (beraktivitas di malam hari) ini hanya memakan kopi-kopi segar terbaik dan yang sudah matang atau berwarna merah. ”Dari 5 kg kopi terbaik, paling hanya 1 kg yang dimakan. Itulah yang mengakibatkan rasa (kopi luwak) lebih nikmat. Secara tidak langsung ia (musang) menyeleksi kopi-kopi terbaik,” ujarnya.
Musuh petani kopi
Dari kebiasaannya itu, di masa lalu, luwak merupakan musuh petani kopi. Ia dianggap sebagai hama tanaman kopi. Akibatnya, luwak sering dijerat, bahkan dibunuh. Saat ini, luwak pun semakin dicari-cari. Harga seekor luwak liar bisa mencapai Rp 700.000.
”Jadinya, luwak liar semakin jarang saat ini. Saya pun sudah jarang menemui kotoran luwak di kebun-kebun,” ujar Burzan Barnau (45), salah seorang petani kopi di Lombok Seminung, Lambar. Padahal, pada masa kecilnya, luwak dan kotorannya sering dijumpai di kebun-kebun kopi.
Inilah yang mengancam populasi luwak. Tidak sedikit pula luwak yang mati di kandang. Apalagi, hewan liar itu hingga saat ini belum bisa dikembangbiakkan oleh manusia. ”Pernah dulu lahir di kandang, tetapi akhirnya mati,” kenang Wahyu kemudian.
Meskipun awalnya terlihat cerah, bisnis kopi luwak pun ternyata tidaklah seindah yang dibayangkan. Para produsen kopi luwak terkendala sertifikasi keaslian produk. Maka, pemesanan tidak berjalan secara rutin dan lancar. Banyak stok kopi yang masih menumpuk di rumah produsen.
Sapri (39), salah seorang produsen kopi luwak di Way Mengaku, mengatakan, di gudangnya saat ini menumpuk tujuh kuintal biji kopi mentah gelondongan yang belum bisa terjual. Padahal, ia membutuhkan pemasukan untuk membiayai pakan 30 ekor luwaknya.
Akibatnya, kini dirinya terpaksa mengurangi jumlah luwak yang dipelihara. Dari sebelumnya 100, kini tersisa 30 ekor. Sebagian produsen memilih menutup produksinya. Dari 10 produsen kopi luwak di Way Mengaku, hanya empat di antaranya yang masih bertahan.(Yulvianus Harjono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar