Selasa, 01 Juni 2010

Pedoman Pelaksanaan Pengujian Keamanan Hayati


Rekayasa genetik melalui teknik transgenik telah lama digunakan pada hewan baik pada taraf penerapan maupun eksperimental. Tujuan utama dari pemanfaatan teknik transgenik adalah terjadinya perubahan fenotipik yang dapat bersifat menyeluruh maupun parsial. Dua aspek yang dapat diharapkan dalam pemanfaatan teknik transgenik adalah:
(1) “perbaikan” kinerja atau produktivitas ternak/hewan secara lebih cepat dibandingkan teknik pemuliabiakan konvensional, (2) “introduksi” komponen keunggulan tertentu yang sama sekali baru. Termasuk dalam kategori pertama misalnya adalah usaha untuk menyisipkan gen yang merangsang pertumbuhan dan produksi susu. Sementara itu, untuk kategori ke dua adalah penyisipan gen untuk produksi protein farmasetik melalui susu, produksi organ tubuh untuk pencangkokan pada manusia, ketahanan terhadap penyakit tertentu, sistem kekebalan tubuh, dan kemampuan pemanfaatan pakan yang lebih baik. Berbagai upaya tersebut di atas, disamping mendatangkan manfaat yang besar, diduga membawa pula konsekuensi yang merugikan/membahayakan. Bahaya atau kerugian yang terjadi dapat berupa ancaman terhadap eksistensi hewan tersebut, lingkungan meliputi manusia, alam dan ekosistem hewani di sekitarnya. Dalam rangka pengaturan keamanan hayati suatu produk bioteknologi, Departemen Pertanian telah mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian No:856/Kpts/HK.330/9/1997 tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PBPHRG). Salah satu jenis dari PBPHRG adalah hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik hasil rekayasa genetik. Pemanfaatan hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik di Indonesia harus dilakukan secara seksama. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kekhawatiran bahwa kemungkinan hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik tersebut bisa berdampak negatif. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan adanya uji keamanan hayati hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik. Keamanan hayati yang dimaksud dalam SK Menteri Pertanian tersebut adalah keadaan yang dihasilkan melalui upaya pencegahan terhadap hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik yang dapat mengganggu, merugikan dan/atau membahayakan bagi manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.

Proses produksi hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik melalui rekayasa genetik melibatkan beberapa tahap kegiatan di tingkat laboratorium dan lapangan. Dalam kaitannya dengan keamanan hayati, maka kegiatan pelaksanaan penelitian rekayasa genetik harus dilakukan di Fasilitas Uji Terbatas (FUT). Penampilan transgen dari hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik perlu dikarakterisasi dengan pengujian yang dilakukan di FUT. Apabila berdasarkan uji di laboratorium dan kandang terbatas tidak ditemukan faktor-faktor yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian bagi masyarakat dan lingkungan, maka dapat dilanjutkan dengan uji di lapangan terbatas. Contoh hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik, protein hasil rekayasa genetik dan beberapa ekspresi transgen.

Sumber: Indonesia Biotechnology Information Center (http://atanitokyo.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar