Denpasar (ANTARA News) - Pembangunan sektor pertanian di Indonesia selama ini hanya diperlakukan sebagai pemasok bahan pangan murah untuk menyubsidi orang kota dan kaum pekerja sehingga belum berfungsi sebagai "bumper" atau membendung inflasi.
Dengan demikian sektor pertanian hanya memasok tenaga kerja murah, terutama anak-anak petani yang terpaksa harus melakukan urbanisasi, akibat terbatasnya kesempatan kerja di pedesaan, kata Gurubesar Fakultas Pertanian Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia, MS di Denpasar Senin.Ia mengatakan, sektor pertanian hanya berorientasi pada peningkatan produksi semata, sehingga tidak tanggap terhadap kondisi dan perubahan pasar.
"Pola pikir yang demikian itu cenderung menganggap bahwa, perekonomian makro maupun sektor riil lainnya, tidak terkait secara erat dengan keragaan sektor pertanian," katanya.
Kondisi itu, menurut Widia, menyebabkan semakin melemahnya kemampuan pertanian dalam mendukung pembangunan ekonomi, sertad dampak lebih jauh menyebabkan para pelaku di sektor pertanian menjadi tidak berdaya dan frustasi menghadapi politik pertanian yang diskrimintif.
Windia menambahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari kemunduran dalam bidang pertanian itu telah mencanangkan program revitalisasi pertanian, perikanan dan kelautan.
"Dokumen revitalisasi tersebut sebenarnya sangat strategis, namun belum jelas, bagaimana kebijakan revitalisasi itu dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah," ujar Windia.
Demikian pula dalam program pembangunan tahunan, sehingga bisa dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun APBD pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota.
"Tanpa sampai ke level kebijakan operasional dan anggaran, implementasi peletakan dasar revitalisasi sebagai proses keberlanjutan bidang pertanian sulit dilakukan," ujarnya.
Padahal revitalisasi seharusnya menjadikan sektor pertanian sebagai basis pembangunan ekonomi, yakni sektor-sektor non pertanian juga diarahkan untuk mendukung pertanian, terutama menyangkut pembiayaan oleh bank maupun lembaga keuangan non bank, tutur Windia.(I006/K004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar